Denyut kota terasa tak pernah berhenti saat menyusuri kawasan Pondok dan Muaro di Padang, Sumatera Barat. Sejak pagi hingga malam, kawasan ini tetap berdetak ibarat jantungnya sebuah kota.
Kawasan ini tercatat pernah menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan hiburan pada era kolonial Belanda. Muaro menjadi pusat pemerintahan, sedangkan Pondok menjadi pusat hiburan.
Rusli Amran dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu mencatat, Opera Constantinopel dan Nyai Dasima yang terkenal pada akhir abad 19 pernah dipentaskan di gedung komedi di kawasan Pondok.
Melangkah sedikit kea rah timur, jejeran gedung tua bergaya campuran—Melayu dan Eropa—terasa saat menginjakan kaki di Pasar Mudik dan Pasar Gadang. Kesibukan bongkar muat barang terasa kental saat menginjakan kaki di sini. Hingar bingar kota tua masih bisa dirasakan di sini.
Menurut Sejarawan Universitas Andalas Profesor Gusti Asnan, Pasar Mudik dan Pasar Gadang merupakan pasar induk pertama yang dibangun etnis Melayu (Minang). Pasa Gadang berkembang menjadi pusat perdagangan seiring dengan kedatangan saudagar Minang. Pengembangan kawasan ini lengkap dengan infrastruktur ekonomi dan politik.
Berkembangnya Padang sebagai kota metropolitan di pantai barat Sumatera tak bisa dilepaskan dari perjanjian London (Traktaat London) pada 17 Maret 1824. Perjanjian ini membuat daerah jajahan Inggris—termasuk Indonesia—beralih ke tangan Belanda.